Kamis, 29 Oktober 2009

Virus Kekuasaan............Waspadalah !!! . Arah Pergerakan Mahasiswa - Pengarusutamaan Gender

Virus Kekuasaan

Ada 3 salah kapra gejala kehidupan yang memprihatinkan di negeri ini :
Pertama : paradigma yang sadar atau tidak telah mengiringi orang untuk memutar balikkan hukum alam “ hiddup sejati “ dengan konsekuensi logis kehidupan, hidup sejati adalah inti hakikat come firs. Konsekuensi logis adalah perife, kulit, comes later yang sebenarnya hidup logis akan datang dengan sendirinya.
Contoh sederhana seorang pelajar hidup sejati ( cerdas bukan hanya otak tetapi juga kepribadian, watak dsb.). jika sudah pelajar sejati, konsekuensi logis akan datang dengan sendirinya seprti nilai dan peringkat yang baik, tetapi kenyataanyan dunia pendidikan sekarang orang tua mengiring anaknya untuk lebih dulu mengejar nilai dan peringkat, maka berbagai penyimpangan terjadi demi nilai dan peringkat yang punya konsekuensi yang hanya konsekuensi logis.

Secara umum demikian yang terjadi di masyarakat sekitarnya sebab banyak wacana, pelatihan, seminar atau berbagai upaya yang lainnya yang manawarkan tema tentang bagaimana mendapatkan konsekuensi logis kehidupan apalagi secara cepat dan instant.

Kedua : paradigma kehidupan diatas mendapatkan resultante sempurna dengan dimensi usaha ( terlepas tetap ada pengecualian ) juga dirasuki virus konsekuensi logis. Mereka cenderung enggan untuk menjadi pengusaha sejati lebih gemar dengan upaya – upaya mengejar konsekuensi logis lebih dahulu.
Tanggung jawab adalah dunia usaha yang mencakup 3P yaitu : profit, people, planet yang terkait dengan kosep kepentingan stake holder. Namun dari ketiga P itu profit lebih mudah tergelincir kewilayah konsekuensi logis. Profit penting dan menjadi tangung jawab pegusaha demi kepentingan stake holder keseluruhan.

Ketiga : kedua salah kapra diatas itulah yang melahirkan kekuatan virus ( sebagai konsekuensi logis ) yang kini merasuki dan menghantui sekaligus merasuk kebeberbagai asumsi dan kualitas kehidupan masyarakat kita, pelajar dan mahasiswa cenderung berpikir dan beriontasi untuk mengejar kekuasaan bagi diri dulu sehinga terjadi beli ijazah, nyontek dst.

Dunia pepolitkian terjangkit hebat oleh kekuasaan, baik level politisi biasa, memteri, sampai presiden sekalipun telah terjangkit kekuasaan, yang lebih dikejar lebih dulu kekuasan bagi dirinya sendiri. Jadi konsekuensi logis adalah demi kekuasaan jika sekarang jadi pemimpin sejati ( yang bernuansa nilai-nilai dan kepentingan kemanusiaan rakyat, kekuasaan dan kenikmatan hidup akan datang dengan sendirinya tetapi yang terjadi adalah sebongkah nafsu dan pertanyaan. Namun akibat P pertama yang menjadi virus mengerikan, P kedua dan ketiga menjadi mati suri. Jadi jangan heran jika kasus- kasus rakyat terkatung katung menyakitkan.
Para pimimpin berpikir dan bertindak bak pengusaha dengan virus kekuasaan, mahasiswa, aktivis LSM, atau komponen masyrakat terkait lainnya nyaris tak peduli.
Sebagai penomena kehidupan, virus kekuatan ini hanya bisa dibrantas dari dalam lingkungan terdekat dan diri sendiri, orang tua atau pendidik terhadap anak dan anak didiknya, jangan mengharafkan perubahn itu datang atau turun dari para pemimpin tetapi datang dari diri kita semua.

Nara Sumber : Ranto Pasaribu


Arah Pergerakan Mahasiswa Pasca Reformasi



Sewindu sudah reformasi bergulir, dalam perjalanannya berbagai kebijakan mewarnai tiap rezim yang bercokol. Tujuan reformasi yang sebenarnya yaitu merubah tatanan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Realitasnya hingga saat ini kondisi bangsa Indonesia semakin terpuruk dan dililit oleh berbagai macam permasalahan. Dalam bidang ekonomi contohnya, pemerintah dari berbagai rezim tersebut tidak berdaya untuk menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) atau sekedar tidak menaikkan harga BBM. Data terakhir menunjukkan pada masa pemerintahan Soesilo Bambang Yoedhoyono harga BBM naik kembali, bensin naik 87,5% dan minyak tanah185,7% (Kompas, 2/5/2006). Dalam pengelolaan migas, pemerintah menunjuk ExxonMobile sebagai GM dari eksplorasi Blok Cepu, walaupun dalam MOU disebutkan bahwa masing-masing daerah yang menjadi tempat eksplorasi mendapat bagian dari hasil eksplorasi tersebut, tetapi yang patut di perhatikan adalah bagaimana konspirasi terselubung mewarnai nota kesepakatan yang di buat. Hal ini terindikasi dari lawatan menteri luar negeri Amerika Serikat Condoleeza Rice yang berkunjung ke Indonesia yang bertepatan dengan momentum penandatanganan nota kesepakatan tersebut. Hal ini semakin menampakkan bahwasanya asset-aset milik Negara semakin terkomersialisasi oleh asing yang nantinya merunut kepada liberalisasi ekonomi global.

Contoh lainnya adalah bagaimana kasus Freeport di Papua, bagaimana asing juga sangat mendominasi eksplorasi barang tambang di sana dengan cara yang curang, hal ini terindikasi dengan adanya cacat pada kontrak karya yang di buat. Dalam kontrak tersebut di sebutkan bahwa yang di eksplorasi adalah tembaga, sedangkan emas dan lainnya tidak. Hal ini berbeda dengan fakta di lapangan, barang tambang yang lain juga turut di eksplorasi dan di angkut ke luar negeri, belum lagi pencemaran lingkungan dan penyerobotan tanah penduduk asli papua, serta adanya perselingkuhan terselubung antara pihak aparat keamanan dengan Freeport yang berbuntut kepada kasus penyuapan di tubuh aparat yang berada di sekitar Freeport Dalam masalah kesehatan kita lihat bagaimana penyakit busung lapar yang terjadi di Nusa Tenggara Timur dan beberapa daerah lain yang notabenenya buntut dari semakin berkurangnya daya beli masyarakat untuk meningkatkan gizi terkait tentunya kenaikan harga BBM yang berbuntut keberbagai sektor. Fakta terbaru berkaitan dengan aksi demonstrasi buruh menuntut di tolaknya revisi UU perburuhan no. 13/2003 yang di anggap tidak berpihak kepada buruh dan menguntungkan kaum pemodal hingga buntutnya berakhir dengan kerusuhan yang terjadi di depan gedung MPR/DPR (3/5), belum lagi kasus korupsi yang sistemik dan menggurita.

Pemaparan-pemaparan di atas berusaha untuk merefleksikan kondisi bangsa saat ini, dan diperlukan adanya gerakan yang rapih dan massif dari mahasiswa yang notabenenya dirunut mulai dari jaman kemerdekaan 1945 sebagai lokomotif perubahan. Gerakan kongkrit yang dilakukan oleh mahasiswa terutama yang duduk dalam pemerintahan mahasiswa, khususnya BEM, selalu berusaha di garda depan untuk menyuarakan hati nurani rakyat, dan selalu kritis atas keganjilan kebijakan yang terkadang di keluarkan oleh pemerintah. Salah satu gerakan kongkrit yang dilakukan adalah di adakannya forum-forum pertemuan guna mencari akar dan formula yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Kesadaran BEM seluruh Indonesia untuk merapikan gerakannya dalam menyikapi keberlanjutan reformasi yang telah digulirkan direalisasikan dalam pertemuan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Se-Indonesia, bertajuk "Refleksi Gerakan Mahasiswa, Rekonstruksi Menuju Massifitas Gerakan Dinamis dan Komprehensif" 29 Desember 2005-1 Januari 2006, di Universitas Andalas, Padang. Secara umum, membuahkan 5 grand issue atau acuan dasar gerakan mahasiswa Indonesia. Antara lain, seputar Orbaisme; Liberalisme; Pendidikan; Disintegrasi Bangsa; Korupsi. Adapun, format gerakan mahasiswa ke depan adalah gerakan massa dan gerakan intelektual (intellectual movement).

Dari pertemuan tersebut, terlihat bahwa para aktivis pergerakan mahasiswa semakin sadar perlu menegedepankan nuansa intelektual ketika bergerak dalam menuntaskan perubahan. Hal ini, terdengar dari penuturan delegasi BEM Se-Indonesia ketika presentasi mengenai orientasi gerakan mahasiswa ke depan.

Secara hakiki, gerakan mahasiswa adalah gerakan intelektual jauh dari kekerasan dan daya juang radikalisme. Mengingat, gerakan ini bermuara dari kalangan akademis kampus cenderung mengedapankan rasionalitas dalam menyikapi pelbagai permasalahan.

Dalam suatu perspektif, gerakan intelektual (intellectual movement) akan terbangun di atas Trias Tradition (tiga tradisi). Pertama, terbangun diatas tradisi diskusi (Discussion Tradition). Gerakan mahasiswa harus memperbanyak ruang diskusi pra-pasca pergerakan. Diskusi akan membawa gerakan mahasiswa menjadi sebuah gerakan rasional dan terpercaya ciri khas gerakan mahasiswa. Lantaran itu, elemen masyarakat secara umum akan lebih menghargai isu-isu diusung oleh gerakan mahasiswa. Seperti dalam menurunkan demonstrasi, elemen gerakan mahaiswa harus mengkaji lebih detil apa, mengapa, akibat dan latar belakang kebijakan pemerintah harus ditentang. Dari kajian-kajian dalam bentuk diskusi lepas dengan mengundang para pakar dibidang-bidang berkaitan dengan agenda aksi, akan mampu melahirkan gagasan-gagasan dan analisa cemerlang. Aktualisasi dan keakuratan data sangat penting bagi gerakan mahasiswa dalam mengkritisi dan bertindak. Sebagaimana kita ketahui zaman semakin maju sehingga dalam mengungkap sesuatu atau menghujam kritik harus berdasar, jelas, akurat dan terpercaya, tanpa itu sulit bagi gerakan mahasiswa dalam menyakinkan rakyat dalam menyalurkan aspirasi.

Kedua, terbangun diatas tradisi menulis (Writing Tradition). Aktivitas menulis merupakan salah satu gerbang menuju tradisi intelektual bagi gerakan mahasiswa. Sejak dulu sampai kini, tokoh dan intelektual bangsa Indonesia bernotabene mantan tokoh aktivis pemuda dan mahasiswa, banyak melemparkan gagasan atau ide-ide cemerlang, kritikan tajam dan membangun wacana dalam bentuk tulisan. Sebut saja nama tokoh-tokoh populer seperti, Bung Karno, Bung Hatta, M. Natsir era pra kemerdekaan; Amien Rais, Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid, Deliar Noer, Hariman Siregar, Arief Budiman era 60 sampai 80-an; Anas Urbaningrum, Eef Saefulloh Fatah, Kamarudin, Andi Rahmat (era 90-an) dan lain-lain.

Bila kita balikkan ke pergerakan mahasiswa, mendukung dan menggalakkan melemparkan isu-isu lewat tulisan perlu perhatian serius. Karena, mewacanakan isu-isu melalui media cetak dapat dibaca oleh kalangan lebih luas dalam artian lebih efefktif untuk menyebarkan gagasan atau wacana ke seluruh pelosok persada nusantara, bahkan sampai manca negara. Hal ini bersinergi dengan peran mahasiswa Indonesia, meminjam istilah Michael Fremerey (1976) "Gerakan korektif", selain diorasikan melalui mimbar bebas dalam aksi demonstrasi juga dapat diwujudkan bagi tokoh-tokoh pergerakan mahasiswa dalam bentuk tulisan di Media Massa.

Lebih jauh, dalam buku Bergerak! (Peran Pers Mahasiswa dalam Penumbangan Rezim Soeharto) Satrio Arimunandar mengemukakan bahwa gerakan mahasiswa di Indonesia tak bisa lepas dari dukungan penuh media massa untuk menggapai hasil maksimum dalam perjuangan. Sebagai misal, momentum penurunan rezim Orde Lama (ORLA), gerakan mahasiswa di dukung koran mahasiswa populer "Mahasiswa Indonesia" atau ketika gerakan mahasiswa menurunkan rezim Orde Baru (ORBA) di dukung penuh Buletin Bergerak (Media Aksi Mahasiswa UI), dalam menyebarkan seputar agenda atau wacana gerakan mahasiswa. Hal ini penting, untuk membangkitkan naluri mahasiswa dalam perjuangan menumpas kezhaliman dan kebatilan.

Ketiga, terbangun diatas tradisi membaca (Reading Tradition). Aktualisasi isu sangat penting bagi gerakan mahasiswa dalam bergerak. Begitu cepat pergeseran berita dan opini publik, memaksa kita untuk senantiasa membaca kalau tidak akan tertinggal. Kesibukan bukan alasan tepat untuk tidak membaca, di mana atau kapan pun bisa kita luang waktu untuk membaca antri mengambil karcis, di bus, menjelang demonstrasi dan lain-lain.

Point-point di atas merupakan beberapa kutipan yang dapat digunakan sebagai langkah praktis tapi berkelanjutan dalam mengusung lima grand isu yang di ambil oleh BEM SI. maka ada suatu konsep yang mungkin bisa membuat perubahan adalah melalui analisis permasalahan global yang mencengkram bangsa ini. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah berusaha dikritisi dengan pisau analisis yang tajam dan dari sudut pandang pemahaman yang komprehensif mengenai makna kehidupan.

Membicarakan pisau analisis yang di gunakan, maka perlu adanya pembahasan asas atau pandangan ideologi yang digunakan sebagai standar berpikir. Paradigma yang digunakan dalam meregulasikan suatu hukum atau kebijakan, tidak terlepas dari asas mendasar yang digunakan sebagai standar. Berbicara ekonomi misalnya, secara fakta ada ideologi yang melatar belakanginya. Paradigma Kapitalisme dengan sekularismenya sangat kental mewarnai kebijakan yang ada, padahal paradigma yang digunakan ideologi tersebut menjadikan manusia tamak akan materi, pribadi yang individualistic, memperlebar jurang antara si kaya dan miskin, serta mengkebiri aspek ruhiyah yang seharusnya menjadi semangat yang menggerakkan kehidupan secara manusiawi. Standar pemahaman Kapitalisme yang mencengkram bangsa ini, semakin nampak seterang mentari di siang hari menjadi biang keladi dari lilitan permasalahan yang ada di sekitar kita, bagaimana pendekatan materialistik selalu digunakan dalam mengatasi problematika sehingga yang terjadi bukan malah solusi yang ada, tetapi terjerat dalam kubangan permasalahan itu sendiri.

Formulasi jangka pendek yang perlu akan dilakukan adalah dengan berusaha include dalam forum-forum pertemuan BEM SI secara berkelanjutan guna mengarah ke rencana strategis yang akan dilakukan ke depannya, untuk jangka panjang berusaha mengaktualisasikan melalui tranformasi pemikiran bahwasanya di balik segala permasalahan ada akar permasalahan, yang dijadikan acuan bagi regulasi peraturan kehidupan. Ketika peraturan mendasar tersebut rusak, maka rusak pula keseluruhan sistem hidup. Berdasar kesadaran hubungan dengan Sang Khalik entah di mana dan kapanpun kita berada, kita tetap dalam putaran kehidupan yang tidak akan luput dari pengawasanNya. Reformasi saat ini belum menentukan kejelasan arah perubahan, sekarang tinggal kita pilih, perubahan yang mendasar atau parsial?? Reformasi jilid 2 atau revolusi??



KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN BUKTI DISKRIMINASI GENDER, BENARKAH?

Maraknya isu “Kekerasan terhadap perempuan”, menjadi rangkaian kosakata yang cukup populer dalam beberapa tahun belakangan ini, telah memasuki wilayah yang paling kecil dan eksklusif, yaitu keluarga. Sangat ironis, di tengah-tengah masyarakat yang katanya ‘modern’, karena dibangun di atas prinsip rasionalitas, demokrasi, dan humanisme—yang secara teori seharusnya mampu menekan tindak kekerasan—justru budaya kekerasan semakin menjadi fenomena yang tidak terpisahkan. Dewasa ini kita menyaksikan dengan jelas munculnya berbagai tindak kriminalitas, kerusuhan, kerusakan moral, pemerkosaan, penganiayaan, pelecehan seksual, dan lain-lain yang keseluruhannya adalah wadah budaya kekerasan. Di AS sendiri yang konon Negara pengusung HAM, justru menunjukan laporan yang cukup mengejutkan. Andrew L. Sapiro dalm bukunya berjudul Amerika NO.1 menyebutkan “Kita no.1 dalam kasus pemerkosaanyaitu 114 per100 ribu penduduk.” Departemen Kehakiman AS sampai akhir 1992 menyebutkan bahwa 20% pemerkosa adalah bapaknya sendiri, 26% orang dekatnya, 51% orang yang dikenalnya, 4% orang yang tidak dikenalnya. Ini fakta tahun 1992, bagaimana dengan sekarang? Senada dengan kondisi di Indonesia, Komnas Perempuan mencatat bahwa kekerasan terhadap perempuan meningkat terus dari tahun ke tahun. Catatan tahun 2004, misalnya, menyebut 5.934 kasus kekerasan menimpa perempuan. Angka ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2001 (3.169 kasus) dan tahun 2002 (5.163 kasus). Angka ini merupakan peristiwa yang berhasil dilaporkan atau di-monitoring. Dari keseluruhan 5.934 kasus kekerasan terhadap perempuan, 2.703 adalah kasus KDRT. Tercakup dalam kategori ini adalah kekerasan terhadap istri sebanyak 2.025 kasus (75%), kekerasan terhadap anak perempuan 389 kasus (10% ), dan kekerasan terhadap keluarga lainnya 23 kasus (1%). Pelaku umumnya adalah orang yang mempunyai hubungan dekat dengan korban seperti suami, pacar, ayah, kakek, dan paman.
Tanggal 25 November, masyarakat dunia memperingati hari internasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Hari itu merupakan momen untuk menguatkan gerakan solidaritas berdasarkan kesadaran bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM.
Issue tersebut diterjemahkan dengan cepat oleh pemerintah Indonesia dengan menggagas ‘Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tagga’ melalui UU No. 23 tahun 2004, yang disandarkan pada Deklarasi PBB tentang ‘Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan’ (20 Desember 1998). Terakhir, pada Konferensi Perempuan Internasional di New York, ditandatangani Konvensi Internasional tentang Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (awal Maret 2000).
Menurut kacamata feminis, kekerasan terhadap perempuan—yang mereka bahasakan dengan kekerasan berbasis jender—merupakan hasil bentukan interaksi social yang terjadi dalam masyarakat patriarki (sistem yang didominasi dan dikuasai oleh laki-laki). Menurut mereka, di Indonesia secara histories sudah mengusung pelembagaan kekerasan jender sejak dulu masa kerajaan, yaitu dengan berlakunya norma kepatuhan dan komoditi di tengah-tengah masyarakat (Jurnal Perempuan, ed. 09).
Keadaan-keadaan inilah yang mereka anggap semakin memperkokoh ketidakadilan sistemik terhadap perempuan. Apalagi kebijakan pembangunan dalam seluruh aspeknya selama ini lebih banyak memihak kepada laki-laki. Adapun kebijakan yang berkenaan dengan perempuan cenderung mengarah pada pemberdayaan perempuan sebagai ibu dan istri saja. Akhirnya, posisi perempuan semakin terpinggirkan, terutama dalam hak-hak sosial, ekonomi dan politik; mereka selalu menjadi orang nomor dua setelah laki-laki, baik dalam sektor privat (keluarga) maupun publik (masyarakat). Kondisi ini sering berujung pada penuduhan terhadap Islam yang dianggap lebih memihak laki-laki dan bersifat misoginis (membenci perempuan).
Inilah yang, menurut mereka, menjadi penyebab maraknya kekerasan terhadap perempuan, termasuk dalam rumah tangga. Mereka bahkan menuduh norma agama khususnya Islam turut mendukung langgengnya budaya kekerasan terhadap perempuan, termasuk KDRT, seperti hukum Islam seputar kebolehan seorang suami berpoligami, wajibnya seorang istri meminta izin suami ketika keluar rumah, kebolehan suami memukul istrinya atau keharusan seorang istri melayani suaminya ketika ia menginginkannya, dan lain-lain.
Perlu dipahami bahwa kejahatan atau kekerasan tidak ada kaitannya dengan masalah jender (perbedaan jenis kelamin), karena kekerasan tidak hanya menimpa kaum perempuan, tetapi juga menimpa kaum laki-laki, baik di dalam ataupun di luar rumah tangga. Pandangan bahwa kekerasan terkait dengan jender adalah pandangan yang sangat keliru. Ia hanyalah pandangan kaum feminis yang mengukur kejahatan berdasarkan jender, pelaku dan obyeknya. Mereka membela pelacuran ketika perempuan menjadi korban (padahal pelacuran merupakan tindak kejahatan). Mereka pun mencap poligami sebagai bagian dari KDRT karena pihak yang menjadi korban pun—menurut mereka—adalah perempuan. Padahal jika kita mau jujur, jelas sekali bahwa maraknya kekerasan terhadap perempuan atau KDRT merupakan cerminan dari gagalnya bangunan sosial-politik yang didasarkan pada ideologi sekularis-kapitalis ini. Munculnya banyak kasus kekerasan terhadap perempuan maupun KDRT adalah karena tidak adanya perlindungan oleh negara, masyarakat, maupun keluarga. Ini adalah akibat dari tidak adanya pemahaman yang jelas tentang hak-hak dan kewajiban negara, masyarakat, ataupun anggota keluarga (suami-istri).

Sumber Berita : Ranto Pasaribu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar